Sabtu, 09 Januari 2021

Muh. Ikhwan: Makalah Komunikasi Islam (Ulama dan Krisis Komunikasi Politik)

 

 

Makalah Komunikasi Islam

(Ulama dan Krisis Komunikasi Politik)

 

 

 


 

Oleh:

MUH. IKHWAN

80800220001

 

Tugas

 

Mata Kuliah Komunikasi Islam Program Study Komunikasi dan Penyiaran Islam Pascasarjana

UIN Alauddin Makassar

 2021

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar belakang masalah

Era reformasi menghembuskan angin segar bagi umat Islam untuk mengambil peran dalam politik Islam, dimana selama orde baru keinginan berpolitik terbelenggu dan tidak diberi ruang kebebasan. Besarnya keinginan berpolitik umat islam itu dapat dibuktikan dengan banyaknya bermuculan kyai/ulama/ustadz, tokoh agama, dan kaum cendekiawan, baik dengan mengedepankan symbol-simbol Islam maupun nasionalisem kebangsaan.

Pernyataan diatas didukung oleh Fatwa, bahwa alam reformasi telah melahirkan beberapa partai politik baik yang berlebel agama maupun non agama.[1] Keberadaan parpol dianggap merupakan institus demokrasi yang berfungsi menyerap dan mengartikulasikan aspirasi masyarakat dan media penyaluran pendapat yang terjadi dimasyarakat.

Politik juga menjadi wadah startegis untuk merumuskan serta menentukan kebijakan suatu kekuasan. Persoalan siapa yang pemegang penentuan kebijakan sangat ditentukan oleh siapa yang berkuasa. Kekuasan itulah yang kerap kali menjadi alat pertarungan partai politik, apakah partai politik yang lahir sebelum dan pasca reformasi.

Namun perkembangan politik hari ini telah banyak memberi warna pada struktur kehidupan masyarakat. Terutama pada dinamika politik Islam, terdapat krisis multidemnsi secara internal persoalan keterlibatan elit agama dalam kancah politik. Mereka para elit agama telah mendaptkan ruang aspirasi politik namun tidak mampu mewarnai bangunan struktur kehidupan politk kenegaraan. Sehingga yang terjadi krisis moral politik dinegara kita masih tumbuh subur, praktik korupsi dan sebaganiya masih menjadi tradisi kebangsaan hari ini.

Sehingga pada makalah ini, kita akan mencoba membahas bagaimana peran-peran ulama dan krisis komunikasi politik, yang disertai kasus-kasus yang tengah berkembang dalam system politik kita di Indonesia.

 

 

 

A.    Rumusan Masalah

1.    Bagaimana posisi agama dalam politik?

2.    Bagaimana Keterlibatan Ulama dalam Politik?

B.     Tujuan

1.      Untuk mengetahui posisi agama dalam politik

2.      Untuk mengetahui Keterlibatan Ulama dalam Politik

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.  A.   Agama dan politik

Berbicara agama (Islam) kaitannya dengan politik, menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Islam adalah agama yang tidak memisahkan urusan duniwiyah dan ukhrawiyah. Islam adalah agama yang mengajarkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, santun, isiqomah, terbuka, dan lain sebagainya. Nilai-nilai tersebut harus dijunjung tinggi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[2]

Untuk menjadikan nilai-nilai luhur yang diajakrkan agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka umat Islam perlu mengambil bagian dalam system kenegaraaan, dan aktivitas politik di negri ini. Untuk itu kehadiran Kiyai, Ustadz, ulama sebagai tokoh agama diharapkan dapat memberikan warna, kesejukan, sebagai tempat meminta petua/nasihat serta mampu berfungsi menjadi teladan dan menjadi benteng moral bagi masyarakat dan pemerintah. Kehadiran kiya dipentas politik juga bisa bermakna positif, sepanjang tetap istiqomah dalam pendiriannya, yaitu dengan keteladanan moral yang dimili, diharapkan dapat mewarnai kehidupan politik kearah yang lebih baik, terhormat dan  bermartabat.[3] 

Ajaran agama menekankan keimanan, ritual peribadatan, dan moralitas. Sedangkan politik menekankan aturan main dalam perebutan dan pembagian kekuasaan dalam konteks kehidupan bernegara. Kedua aspek ini pada praktiknya menyatu. Terlebih dalam ajaran dan sejarah Islam, agama dan politik sejak masa Rasulullah sampai sekarang tak terpisahkan.[4]

Ini berbeda dari ajaran Kristen yang memisahkan antara hak gereja dan negara. Maka, dalam masyarakat Kristiani di Barat terjadi pemisahan jelas antara agama dan negara. Agama itu urusan pribadi. Negara tidak boleh intervensi. Negara melindungi dan mengatur seseorang sebagai warga negara, bukan penggembala umat yang beriman.

Jika ditarik pada sosok pembawanya, riwayat hidup Yesus dan Muhammad memang berbeda. Yesus diyakini kalah dan mati di tiang salib, sekalipun dalam tafsir iman Kristiani justru sebuah kemenangan bagi Yesus untuk mengalahkan dosa-dosa manusia sehingga Yesus disebut Juru Selamat dan Sang Penebus.

Sedangkan Muhammad justru mewariskan komunitas politik di Madinah. Jadi, ingatan kolektif umat Islam dan Kristen mengenai agama dan politik memang berbeda. Peran sosial politik yang dicontohkan oleh Yesus dan Muhammad tidaklah sama. Maka, ketika berbicara tentang hubungan agama dan politik, umat Kristiani akan memilih teori sekularisme.

Agama jangan dibawa-bawa pada ranah politik. Agama cukup sebagai keyakinan hidup dan pedoman moral, baik dalam ranah individu maupun sosial. Namun, ini tidak berarti agama tidak memiliki pengaruh dalam proses politik. Misalnya saja Amerika Serikat, meskipun pemerintahannya selalu membela demokrasi dan hak asasi manusia, masih tidak terbayangkan seorang Muslim bisa terpilih sebagai presiden di sana hari ini. Jangankan Islam, dari kalangan Katolik pun berat.

Jadi, kalau di Indonesia isu agama masih muncul, itu wajar-wajar saja. Pertama, penduduk mayoritas warganya adalah Muslim. Kedua, dalam sejarah Islam, hubungan agama dan politik itu senantiasa menyatu, sekalipun hal ini juga menimbulkan problem politik sangat serius yang belum selesai.

Penempatan Islam dalam wacana politik di Indonesia ternyata menghadirkan wacana yang berbeda-beda, yaitu: Pertama, kelompok yang memandang bhawa Islam adalah agama yang perfeksionis yang mencakup seluruh dimensi kehidupan urusan manusia. Masalah politik termasuk didalamnya. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa islam terlepas dari hal-hal yang bersifat duniwiyah. Islam harus dijaga kemurniannya dari kemungkinan kontaminasi unsuru-unsur duniawiyah. Masalah politik adalah duniawiyah diluar pagar agama, dan oleh karena itu harus dijauhkan keduanya.

Ketiga, kelompok yang berpandangan diantara kedua pandangan bahwa islam tidak memberikan rumusan baku mengenai system poltik kenegaraan, akan tetapi menyediakan seperangkat tata nilai sebagai landasan etik bagi kehidupan berpolitk dan bernegara.[5]

Dari ketiga pemahaman itulah lahir berbagai bentuk artikulasi dan agrregasi politik yang berbeda-beda, bahkan bertentangan. Kelompok pertama menekankan pada kaitan formal ideologi islam dengan negara (politik), kelompok kedua, membuat garis demokrasi yang tajam antara Islam da Politik. Kelompok ketiga, mengukuhkan ajaran/ nilai-nilai dalam realitas politik dan negara.

B.     Keterlibatan Kyai/ulama dalam politik.

1.      Kyai dan perannya di Msyarakat

Sebutan kyai sebenrnya merupakan istilah yag sering dipakai oleh kalangan masyarakat jawa untuk menyebut elit agama Islam, seperti halnya Buya sebutan elit agama di Sumatera. Dalam kamus besar bahsa Indonesia, kyai sebutan bagi alim ulama (cerdik pandai dalam agama islam).[6] Sarman,[7] menyatakan, seorang kyai sebenarnya seorang ulama (Ilmuan) yang menguasai sesuati bidang ilmu agama atau beberapa bidang sekaligus. Tetapi tidak semua ulama lantas disebut dengan kyai.

            Quraish Shihab, menyebutkan bahwa, peran ulama di Indoensia, khususnya di Jawa Timur biasa disebut atau identic dengan kyai; memberiakan petunjuk dan bimbingan keagamaan dalam rangka mengatasi persoalan yang berkembang, seperti perselisahan pendapat dan problem sosial lainnya.[8]

            Menurut Abdillah, ulama memiliki kedudukan yang tinggi dan peran penting krena mereka merupakan pewaris para Nabi yang mempunyai tugas untuk: Pertama, mendidik umat dibidang agama dan lainnya. Kedua, melakukan kontrolo terhadap masyarakat. Ketiga , memecahkan problem yang terjadi dalam masyarakat, dan. Empat, menjadi agen perubahan sosial.[9]

2.      Keterlibatan kyai dalam politik

Sejak awal higga perkembangan terakhir, politik memiliki defenisi yang berbeda-beda menurut cara pandang orang yang menggunakan istilah tersbut. Menurut Mufid, politik adalah segala usaha yang berkaitan dengan kekuasaan baik cara memperoleh, mendistribusikan, maupun cara mempertahankannya.[10] Sedangkan dalam pendangan klasik yang telah dikemukakan oleh Aristoteles, politik dilihat sebagai suatu asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan dan menyelanggarakan hal ihwal yang menyangkut kebaikan Bersama seluruh anggota masyarakat.[11]

Untuk memaparkan keterlibatan kyai dalam politik, paling tidak kita dapat merujuk pendapat Suprayogo dari prespektif sosiologis, yaitu; Pertama, bahwa sumber ajaran Islam yang selalu dijadikan sebagai rujukan oleh para elit agama, dipahami tidak memiliki lingkup tak terbatas pada aspek-aspek ritual dan bimbingan moral belaka, melainkan juga memberikan nilai-nilai pada sisi kehidupan, baik dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, hukum, sosial dan juga politik. Kedua, memerka yang berposisi sebagai pemuka agama memiliki pengikut dan pengaruh yang sangat luas ditengah-tengah masyarakat. Hal itu menyebabkan elit agama dierhitungkan dalam pengambilan keputusan Bersama, proses kepemimpinan, penyelesaian priblem-problem. Ketiga, elit agama merasa mengembang misi yang hal ini memerlukan dukungan penguasa baik yang bersifat material maupun immaterial. Keempat, elit agama juga berfungsi sebagai kekuatan yang dapat memberikan legitimasi terhadap keputusan-keputusan dan bahkan keberadaan penguasa.[12]

Kini kini politik Islam memasuki fase baru yang ditandai dengan tampilnya para intelektual Islam kepanggung politik praktis sebagai pimpinan partai politik. Sebagai cendikiawan kinerja mereka sangat meyakinkan, tetapi sebagai politisi masih perlu dibuktikan. Para kyai/ulama/ ustadz, tokoh agama, dan kaum cendikiawan, mereka terjun aktif dalam partai politik. Ada yang bergabung di Paratai keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Partai  Amanat Nasional (PAN), Paratai Persatuan Pembangunan (PPP) dan partai lainnya.

Para Kyai/Ulama/ Ustadz, merupakan sosok panutan, figure moral, dan orang yang memiliki wawasan keagamaan yang luas. Dengan demikian diharapakan dapat membimbing umat dan menjadi benteng moral dalam kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu, dengan hadirnya sosok kyai/ulama dalam panggung politik, diharapkan dunia politik lebih bermoral, mementingkan kepentingan rakayat serta minjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Seperti yang dikemukakan oleh Al- Faruki, bahwa diri ulama adalah symbol dari pada etika dan moral politik. Keterlibatan ulama dam kancah politik harus bisa memberi sumbangsi yang besar demi terciptanya bangunan struktur politik yang bermoral. Moral yang betul-betul hidup danbukan sekedar slogan politik.

Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa ulama lebih strategis diluar parpol. Peran utamanya ialah menjaga kantong-kantong kultur untuk tetap netral secara politik dan konsisten dengan visinya sebagai pilar masyarakat madani. [13] keberadaan kyai/ulama/ ustadz dlam kancah politik sampai saat imi memang masih perdebatkan oleh Sebagian kalangan. Ada yang berpedapat bahwa mereka para elit agama cukup berperang sebagai pengayom umat, terutama dalam pembinaan agama.

Ada pula yang berpendapat sebaliknya, tidak alasan bagi kyai/ulama/ ustadz untuk meninggalkan politik praktis, sebab berpolitik merupakan bagian dari ajaran agama. Oleh karena hampir setiap pelaksanaan pemilu, baik pemilhan legislative, DPR, Pemilihan kepala daerah Bupati, Gubernur, sebagaian besar mereka para elit agama yang menjadi terlibat dalam kegiatan kampanye dan pencitraan positif calon yang didukungnya dengan dalih demi kemaslhatan umat.

Contoj konkrit dalam hal ini adalah Kyai Ma’ruf Amin sebagai Wakil Persiden RI 2020-2025 yang sebelumnya adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.  Serta wakil Guberur Bengkulu “ H. Syamlan, Lc” yang sebelumnya sekretaris umum majelis ulama Indonesia (MUI) Provinsi Bengkulu.

Banyak lagi elit-elit agama yang ikut andil dalam kancah politik, diharapkan keterlibatan mereka mampu mewarnai dan memberikan pengaruh terhadap kebijkan pemerintah yang berorientasi pada kepentingan rakyat.

Berpijak pada realitas dilapangan, berbagai kasus-kasus elit agama yang terlibat dalam ranah politik , perlu kiranya membangun sebuah kerangka dan bentuk pemberdayaan kyai/ulama/utadz yang akan menggeulti dunia politik sehingga dapat memebri warna dan teladan dalam pendewasaan politik umat. Agar kedepan tidak terjadi krisis multidemnisi pada aspek politik Islam.

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.      Ajaran agama menekankan keimanan, ritual peribadatan, dan moralitas. Sedangkan politik menekankan aturan main dalam perebutan dan pembagian kekuasaan dalam konteks kehidupan bernegara. Kedua aspek ini pada praktiknya menyatu. Terlebih dalam ajaran dan sejarah Islam, agama dan politik sejak masa Rasulullah sampai sekarang tak terpisahkan

2.      Para Kyai/Ulama/ Ustadz, merupakan sosok panutan, figure moral, dan orang yang memiliki wawasan keagamaan yang luas. Dengan demikian diharapakan dapat membimbing umat dan menjadi benteng moral dalam kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu, dengan hadirnya sosok kyai/ulama dalam panggung politik, diharapkan dunia politik lebih bermoral, mementingkan kepentingan rakayat serta minjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan

B.     Saran

Pada makalah ini masih terdapat begitu banyak kekurangan, terutama pada sistematika penyusunan redaksi kata dan metodologi penulisan makalah secara Ilmia. Oleh sebab itu, saya berharap saran dan kritikan yang membangun untuk penyusunan makalah untuk kemudian hari.

 



[1] Abdul Mu’nim, Islam ditengah Arus Transisi, (Jakarta; Kompas, 2000), hal. 120.

[2]Ujang Mahadi, Komunikasi Antar Budaya.(Jakarta; Pustaka Pelajar), hal.146

[3] Ruslani, Politik Islam di Tengah Pluralisme Politik, dalam Abdul Mu’nim D.Z. (edt). Islam ditengah arus Transisi. (Jakarta: Kompas), hal. 138

[4] https://geotimes.co.id/kolom/politik/agama-dan-politik, diakses pada tgl, 05 Januari 2021.

[5]Ujang Mahadi, Komunikasi Antar Budaya.(Jakarta; Pustaka Pelajar), hal.149

[6] Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet 2. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Hal. 565.

[7] Mukhtar Sarman, Jagat Kyai (Jakarta; Harian Kompas, 1999), Hal. 264.

[8] Quraish Shihab, Melampau Dialog Agama,( Jakarta; Kompas 2002), Hal. 94.

[9] Masykuri Abdillah, Ulama Dan Politik, ( Jakarta; Kompas, 2000), Hal. 162.

[10] Ahmad Syafi’i Mufid, Penggunaan Simbil-Simbol Keagamaan Untuk Kepentingan Politik, Jurnal, Vol.III, No. 12, Oktober 2004.

[11] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta; Grasindo, 1992), Hal. 2.

[12] Imam Suprayogo. Telaah Atas Realitas Peran Politik Kini Dan Yang Akan Datang, Uin Malang Press. Hal. 140

[13] M. Deden Ridwan, Perubahan Politik Dan Kebangkitan Peran Umat Islam, ( Jakarta; Media Cipta,20000,Hal.233.

Optimis Bangun Ekosistem Pertanian

Kemarin (19/07/24) saya bersama petani Milenial Tombolo Pao, Gowa, dalam kegiatan star up program YESS 2024 di BPP Kanreapia. Berbagai infor...