Makalah Komunikasi Islam
(Ulama dan Krisis Komunikasi Politik)
Oleh:
MUH. IKHWAN
80800220001
Tugas
Mata Kuliah
Komunikasi Islam Program Study Komunikasi dan Penyiaran Islam Pascasarjana
UIN Alauddin Makassar
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah
Era reformasi menghembuskan angin segar bagi umat Islam untuk
mengambil peran dalam politik Islam, dimana selama orde baru keinginan
berpolitik terbelenggu dan tidak diberi ruang kebebasan. Besarnya keinginan
berpolitik umat islam itu dapat dibuktikan dengan banyaknya bermuculan
kyai/ulama/ustadz, tokoh agama, dan kaum cendekiawan, baik dengan mengedepankan
symbol-simbol Islam maupun nasionalisem kebangsaan.
Pernyataan diatas didukung oleh Fatwa, bahwa alam reformasi telah
melahirkan beberapa partai politik baik yang berlebel agama maupun non agama.[1]
Keberadaan parpol dianggap merupakan institus demokrasi yang berfungsi menyerap
dan mengartikulasikan aspirasi masyarakat dan media penyaluran pendapat yang
terjadi dimasyarakat.
Politik juga menjadi wadah startegis untuk merumuskan serta
menentukan kebijakan suatu kekuasan. Persoalan siapa yang pemegang penentuan
kebijakan sangat ditentukan oleh siapa yang berkuasa. Kekuasan itulah yang
kerap kali menjadi alat pertarungan partai politik, apakah partai politik yang
lahir sebelum dan pasca reformasi.
Namun perkembangan politik hari ini telah banyak memberi warna pada
struktur kehidupan masyarakat. Terutama pada dinamika politik Islam, terdapat
krisis multidemnsi secara internal persoalan keterlibatan elit agama dalam
kancah politik. Mereka para elit agama telah mendaptkan ruang aspirasi politik
namun tidak mampu mewarnai bangunan struktur kehidupan politk kenegaraan.
Sehingga yang terjadi krisis moral politik dinegara kita masih tumbuh subur,
praktik korupsi dan sebaganiya masih menjadi tradisi kebangsaan hari ini.
Sehingga pada makalah ini, kita akan mencoba membahas bagaimana
peran-peran ulama dan krisis komunikasi politik, yang disertai kasus-kasus yang
tengah berkembang dalam system politik kita di Indonesia.
A.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana posisi agama dalam politik?
2.
Bagaimana Keterlibatan Ulama dalam Politik?
B.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui posisi agama dalam politik
2.
Untuk mengetahui Keterlibatan Ulama dalam Politik
BAB II
PEMBAHASAN
A. A. Agama dan politik
Berbicara agama (Islam) kaitannya dengan politik, menjadi hal yang
menarik untuk dikaji. Islam adalah agama yang tidak memisahkan urusan duniwiyah
dan ukhrawiyah. Islam adalah agama yang mengajarkan nilai-nilai kebenaran,
keadilan, kejujuran, santun, isiqomah, terbuka, dan lain sebagainya.
Nilai-nilai tersebut harus dijunjung tinggi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.[2]
Untuk menjadikan nilai-nilai luhur yang diajakrkan agama dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka umat Islam perlu
mengambil bagian dalam system kenegaraaan, dan aktivitas politik di negri ini.
Untuk itu kehadiran Kiyai, Ustadz, ulama sebagai tokoh agama diharapkan dapat
memberikan warna, kesejukan, sebagai tempat meminta petua/nasihat serta mampu
berfungsi menjadi teladan dan menjadi benteng moral bagi masyarakat dan
pemerintah. Kehadiran kiya dipentas politik juga bisa bermakna positif,
sepanjang tetap istiqomah dalam pendiriannya, yaitu dengan keteladanan moral
yang dimili, diharapkan dapat mewarnai kehidupan politik kearah yang lebih
baik, terhormat dan bermartabat.[3]
Ajaran agama menekankan keimanan,
ritual peribadatan, dan moralitas. Sedangkan politik menekankan aturan main
dalam perebutan dan pembagian kekuasaan dalam konteks kehidupan bernegara.
Kedua aspek ini pada praktiknya menyatu. Terlebih dalam ajaran dan sejarah
Islam, agama dan politik sejak masa Rasulullah sampai sekarang tak terpisahkan.[4]
Ini berbeda dari ajaran Kristen yang memisahkan antara hak
gereja dan negara. Maka, dalam masyarakat Kristiani di Barat terjadi pemisahan
jelas antara agama dan negara. Agama itu urusan pribadi. Negara tidak boleh
intervensi. Negara melindungi dan mengatur seseorang sebagai warga negara,
bukan penggembala umat yang beriman.
Jika ditarik pada sosok pembawanya, riwayat hidup Yesus dan
Muhammad memang berbeda. Yesus diyakini kalah dan mati di tiang salib,
sekalipun dalam tafsir iman Kristiani justru sebuah kemenangan bagi Yesus untuk
mengalahkan dosa-dosa manusia sehingga Yesus disebut Juru Selamat dan Sang
Penebus.
Sedangkan Muhammad justru mewariskan komunitas politik di
Madinah. Jadi, ingatan kolektif umat Islam dan Kristen mengenai agama dan
politik memang berbeda. Peran sosial politik yang dicontohkan oleh Yesus dan
Muhammad tidaklah sama. Maka, ketika berbicara tentang hubungan agama dan
politik, umat Kristiani akan memilih teori sekularisme.
Agama jangan dibawa-bawa pada ranah politik. Agama cukup sebagai
keyakinan hidup dan pedoman moral, baik dalam ranah individu maupun sosial.
Namun, ini tidak berarti agama tidak memiliki pengaruh dalam proses politik.
Misalnya saja Amerika Serikat, meskipun pemerintahannya selalu membela
demokrasi dan hak asasi manusia, masih tidak terbayangkan seorang Muslim bisa
terpilih sebagai presiden di sana hari ini. Jangankan Islam, dari kalangan
Katolik pun berat.
Jadi, kalau di Indonesia isu agama masih muncul, itu wajar-wajar
saja. Pertama, penduduk mayoritas warganya adalah Muslim. Kedua, dalam sejarah
Islam, hubungan agama dan politik itu senantiasa menyatu, sekalipun hal ini
juga menimbulkan problem politik sangat serius yang belum selesai.
Penempatan Islam dalam wacana politik di Indonesia ternyata
menghadirkan wacana yang berbeda-beda, yaitu: Pertama, kelompok yang memandang
bhawa Islam adalah agama yang perfeksionis yang mencakup seluruh dimensi
kehidupan urusan manusia. Masalah politik termasuk didalamnya. Kedua, kelompok
yang berpendapat bahwa islam terlepas dari hal-hal yang bersifat duniwiyah. Islam
harus dijaga kemurniannya dari kemungkinan kontaminasi unsuru-unsur duniawiyah.
Masalah politik adalah duniawiyah diluar pagar agama, dan oleh karena itu harus
dijauhkan keduanya.
Ketiga, kelompok yang berpandangan diantara kedua pandangan
bahwa islam tidak memberikan rumusan baku mengenai system poltik kenegaraan,
akan tetapi menyediakan seperangkat tata nilai sebagai landasan etik bagi
kehidupan berpolitk dan bernegara.[5]
Dari ketiga pemahaman itulah lahir berbagai bentuk artikulasi
dan agrregasi politik yang berbeda-beda, bahkan bertentangan. Kelompok pertama
menekankan pada kaitan formal ideologi islam dengan negara (politik), kelompok
kedua, membuat garis demokrasi yang tajam antara Islam da Politik. Kelompok
ketiga, mengukuhkan ajaran/ nilai-nilai dalam realitas politik dan negara.
B. Keterlibatan Kyai/ulama dalam politik.
1. Kyai dan perannya di Msyarakat
Sebutan kyai sebenrnya merupakan istilah yag sering dipakai oleh
kalangan masyarakat jawa untuk menyebut elit agama Islam, seperti halnya Buya
sebutan elit agama di Sumatera. Dalam kamus besar bahsa Indonesia, kyai sebutan
bagi alim ulama (cerdik pandai dalam agama islam).[6] Sarman,[7] menyatakan, seorang kyai
sebenarnya seorang ulama (Ilmuan) yang menguasai sesuati bidang ilmu agama atau
beberapa bidang sekaligus. Tetapi tidak semua ulama lantas disebut dengan kyai.
Quraish Shihab,
menyebutkan bahwa, peran ulama di Indoensia, khususnya di Jawa Timur biasa
disebut atau identic dengan kyai; memberiakan petunjuk dan bimbingan keagamaan
dalam rangka mengatasi persoalan yang berkembang, seperti perselisahan pendapat
dan problem sosial lainnya.[8]
Menurut
Abdillah, ulama memiliki kedudukan yang tinggi dan peran penting krena mereka
merupakan pewaris para Nabi yang mempunyai tugas untuk: Pertama,
mendidik umat dibidang agama dan lainnya. Kedua, melakukan kontrolo
terhadap masyarakat. Ketiga , memecahkan problem yang terjadi dalam
masyarakat, dan. Empat, menjadi agen perubahan sosial.[9]
2. Keterlibatan kyai dalam politik
Sejak awal higga perkembangan terakhir, politik memiliki
defenisi yang berbeda-beda menurut cara pandang orang yang menggunakan istilah
tersbut. Menurut Mufid, politik adalah segala usaha yang berkaitan dengan
kekuasaan baik cara memperoleh, mendistribusikan, maupun cara
mempertahankannya.[10] Sedangkan dalam pendangan
klasik yang telah dikemukakan oleh Aristoteles, politik dilihat sebagai suatu
asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan dan menyelanggarakan hal
ihwal yang menyangkut kebaikan Bersama seluruh anggota masyarakat.[11]
Untuk memaparkan keterlibatan kyai dalam politik, paling tidak
kita dapat merujuk pendapat Suprayogo dari prespektif sosiologis, yaitu;
Pertama, bahwa sumber ajaran Islam yang selalu dijadikan sebagai rujukan oleh
para elit agama, dipahami tidak memiliki lingkup tak terbatas pada aspek-aspek
ritual dan bimbingan moral belaka, melainkan juga memberikan nilai-nilai pada
sisi kehidupan, baik dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, hukum, sosial dan juga
politik. Kedua, memerka yang berposisi sebagai pemuka agama memiliki pengikut
dan pengaruh yang sangat luas ditengah-tengah masyarakat. Hal itu menyebabkan
elit agama dierhitungkan dalam pengambilan keputusan Bersama, proses
kepemimpinan, penyelesaian priblem-problem. Ketiga, elit agama merasa mengembang
misi yang hal ini memerlukan dukungan penguasa baik yang bersifat material
maupun immaterial. Keempat, elit agama juga berfungsi sebagai kekuatan yang
dapat memberikan legitimasi terhadap keputusan-keputusan dan bahkan keberadaan
penguasa.[12]
Kini kini politik Islam memasuki fase baru yang ditandai dengan
tampilnya para intelektual Islam kepanggung politik praktis sebagai pimpinan
partai politik. Sebagai cendikiawan kinerja mereka sangat meyakinkan, tetapi
sebagai politisi masih perlu dibuktikan. Para kyai/ulama/ ustadz, tokoh agama,
dan kaum cendikiawan, mereka terjun aktif dalam partai politik. Ada yang
bergabung di Paratai keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB),
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Partai
Amanat Nasional (PAN), Paratai Persatuan Pembangunan (PPP) dan partai
lainnya.
Para Kyai/Ulama/ Ustadz, merupakan sosok panutan, figure moral,
dan orang yang memiliki wawasan keagamaan yang luas. Dengan demikian
diharapakan dapat membimbing umat dan menjadi benteng moral dalam kehidupan masyarakatnya.
Oleh karena itu, dengan hadirnya sosok kyai/ulama dalam panggung politik,
diharapkan dunia politik lebih bermoral, mementingkan kepentingan rakayat serta
minjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Seperti yang dikemukakan
oleh Al- Faruki, bahwa diri ulama adalah symbol dari pada etika dan moral
politik. Keterlibatan ulama dam kancah politik harus bisa memberi sumbangsi
yang besar demi terciptanya bangunan struktur politik yang bermoral. Moral yang
betul-betul hidup danbukan sekedar slogan politik.
Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa ulama lebih
strategis diluar parpol. Peran utamanya ialah menjaga kantong-kantong kultur
untuk tetap netral secara politik dan konsisten dengan visinya sebagai pilar
masyarakat madani. [13] keberadaan kyai/ulama/
ustadz dlam kancah politik sampai saat imi memang masih perdebatkan oleh
Sebagian kalangan. Ada yang berpedapat bahwa mereka para elit agama cukup
berperang sebagai pengayom umat, terutama dalam pembinaan agama.
Ada pula yang berpendapat sebaliknya, tidak alasan bagi
kyai/ulama/ ustadz untuk meninggalkan politik praktis, sebab berpolitik
merupakan bagian dari ajaran agama. Oleh karena hampir setiap pelaksanaan
pemilu, baik pemilhan legislative, DPR, Pemilihan kepala daerah Bupati, Gubernur,
sebagaian besar mereka para elit agama yang menjadi terlibat dalam kegiatan
kampanye dan pencitraan positif calon yang didukungnya dengan dalih demi
kemaslhatan umat.
Contoj konkrit dalam hal ini adalah Kyai Ma’ruf Amin sebagai
Wakil Persiden RI 2020-2025 yang sebelumnya adalah Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Pusat. Serta wakil
Guberur Bengkulu “ H. Syamlan, Lc” yang sebelumnya sekretaris umum majelis
ulama Indonesia (MUI) Provinsi Bengkulu.
Banyak lagi elit-elit agama yang ikut andil dalam kancah
politik, diharapkan keterlibatan mereka mampu mewarnai dan memberikan pengaruh
terhadap kebijkan pemerintah yang berorientasi pada kepentingan rakyat.
Berpijak pada realitas dilapangan, berbagai kasus-kasus elit
agama yang terlibat dalam ranah politik , perlu kiranya membangun sebuah
kerangka dan bentuk pemberdayaan kyai/ulama/utadz yang akan menggeulti dunia
politik sehingga dapat memebri warna dan teladan dalam pendewasaan politik
umat. Agar kedepan tidak terjadi krisis multidemnisi pada aspek politik Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ajaran agama menekankan keimanan, ritual
peribadatan, dan moralitas. Sedangkan politik menekankan aturan main dalam
perebutan dan pembagian kekuasaan dalam konteks kehidupan bernegara. Kedua
aspek ini pada praktiknya menyatu. Terlebih dalam ajaran dan sejarah Islam,
agama dan politik sejak masa Rasulullah sampai sekarang tak terpisahkan
2. Para Kyai/Ulama/ Ustadz, merupakan sosok panutan, figure moral,
dan orang yang memiliki wawasan keagamaan yang luas. Dengan demikian
diharapakan dapat membimbing umat dan menjadi benteng moral dalam kehidupan
masyarakatnya. Oleh karena itu, dengan hadirnya sosok kyai/ulama dalam panggung
politik, diharapkan dunia politik lebih bermoral, mementingkan kepentingan
rakayat serta minjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan
B. Saran
Pada makalah ini masih terdapat
begitu banyak kekurangan, terutama pada sistematika penyusunan redaksi kata dan
metodologi penulisan makalah secara Ilmia. Oleh sebab itu, saya berharap saran
dan kritikan yang membangun untuk penyusunan makalah untuk kemudian hari.
[1]
Abdul Mu’nim, Islam ditengah Arus Transisi, (Jakarta; Kompas, 2000),
hal. 120.
[2]Ujang
Mahadi, Komunikasi Antar Budaya.(Jakarta; Pustaka Pelajar), hal.146
[3] Ruslani,
Politik Islam di Tengah Pluralisme Politik, dalam Abdul Mu’nim D.Z.
(edt). Islam ditengah arus Transisi. (Jakarta: Kompas), hal. 138
[4] https://geotimes.co.id/kolom/politik/agama-dan-politik,
diakses pada tgl, 05 Januari 2021.
[5]Ujang
Mahadi, Komunikasi Antar Budaya.(Jakarta; Pustaka Pelajar), hal.149
[6]
Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Cet 2. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Hal. 565.
[7] Mukhtar
Sarman, Jagat Kyai (Jakarta; Harian Kompas, 1999), Hal. 264.
[8]
Quraish Shihab, Melampau Dialog Agama,( Jakarta; Kompas 2002), Hal. 94.
[9] Masykuri
Abdillah, Ulama Dan Politik, ( Jakarta; Kompas, 2000), Hal. 162.
[10] Ahmad
Syafi’i Mufid, Penggunaan Simbil-Simbol Keagamaan Untuk Kepentingan Politik,
Jurnal, Vol.III, No. 12, Oktober 2004.
[11] Ramlan
Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta; Grasindo, 1992), Hal. 2.
[12]
Imam Suprayogo. Telaah Atas Realitas Peran Politik Kini Dan Yang Akan Datang,
Uin Malang Press. Hal. 140
[13] M.
Deden Ridwan, Perubahan Politik Dan Kebangkitan Peran Umat Islam, (
Jakarta; Media Cipta,20000,Hal.233.