Rabu, 29 April 2020

Bantuan Dana Covid-19, Jangan Pilih Kasih


Oleh: Muh. Ikhwan

Opinews. Terkait bantuan pelayanan sosial dasar dana Covid-19 bagi masyarakat, banyak menimbulkan berbagai polemik yang bermuarah pada kecemburuan sosial. Mulai dari perioritas peruntukan dana desa, kriteria keluarga miskin, BLT, dan yang terkena dampak Corona secara umum. Ada pula sebagian masyarakat menilai, bantuan dana Covid-19 dianggap pilih kasih.

Jika dilihat peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia tentang Perubahan atas peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah dan Transmigrasi nomor 11 tahun 2019 tentang perioritas penggunaan Dana desa tahun 2020.

Bahwa setelah menimbang penyebaran Corono Virus Disease (Covid-19) telah berdampak pada kehidupan sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat desa.

Menetapkan dan memutuskan tentang perioritas anggaran dana desa. Pada poin 20, perioritas penggunaan dana desa adalah pilihan kegiatan yang didahulukan dan diutamakan dari pada pilihan kegiatan lainnya untuk dibiayai dengan dana desa.

Sebagaimana tentang pedoman umum pelaksanaan pengaggaran dana desa tahun 2020 dalam bab l, tentang perioritas penggunaan dana desa.

Penggunaan dana desa didasarkan pada prinsip-prinsip: pertama, mendahulukan kepentingan yang lebih mendesak dan berhubungan langsung dengan kepentingan sebagian besar masyarakat desa. Kedua, Keadilan dengan mengutamakan hak dan kepentingan seluruh warga desa tanpa membeda-bedakan.

Kegiatan pelayanan sosial dasar, sebagaimana yang dimaksud pada pasal 8 Ayat 1 huruf (d) nomor 1, kesiap siagaaan menghadapi bencana alam dan non alam. Bencana non alam sebagaimana yang dimaksud merupakan bencana yang terjadi akibat penyebaran penyakit yang mengancam dan/atau menimpa masyarakat secara luas atau skala besar, salah satunya Pandemi Corono Virus Disease (Covid-19).

Bahwa penanganan dampak pademi Covid-19 sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat berupa BLT dana desa kepada Keluarga miskin di Desa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Keluarga miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang menerima BLT- Dana Desa merupakan keluarga yang kehilangan mata pencaharian atau pekerjaan, belum terdata menerima Program Keluarga Harapan 
(PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan kartu pra kerja, serta yang mempunyai anggota keluarga 
yang rentan sakit menahun/ kronis.

Keluarga Miskin sebagai rujukan pendataan Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah peraturan Kemensos RI yang paling tidak memenuhi 9 dari 14 poin yang akan berhak mendapatkan bantuan.

Jika pemerintah telah menyepakati seluruh Indonesia terkena dampak, maka seharusnya tidak ada lagi kategorisasi keluarga miskin menurut Kemensos RI pada masa pandemi Covid-19. Semua terkena dampak, tidak ada pilih kasih. sekiranya memungkinkan semua dapat bantuan. Warga desa pada umumnya berhak mendapatkan secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan. Sebagaimana pandemi corona ini berdampak secara ekonomi, sosial dan kesejahteraan masyarakat desa pada umumnya.

Peraturan Kemensos RI tentang kriteria orang miskin sebagai rujukan ternilai sangat umum. Seharusnya ada kriteria  khusus atau penyeragaman kategori berdasarkan murni terkena akibat dampak Corona. Sehingga tidak terkesan membeda-bedakan pada kehidupan sosial menengah kebawah.

Dilapangan misalnya, Tim gugus yang bertugas melakukan pendataan keluarga miskin menurut Kemensos RI. Melakukan pendataan seperti keluarga miskin sama  halnya saat melakukan pendataan PKH, BPNT dan Kartu Prakerja. Bukankah keluarga miskin sebelum dan saat pandemi adalah sesuatu yang berbeda? Melakukan pendataan pada masyarakat yang kehilangan mata pencaharian. Padahal masyarakat pada umumnya memiliki hak untuk mendapat bantuan, tidak perlu melakukan pendataan. Sebab mereka terkena dampak secara umum yang sangat dirasakan pada tataran ekonomi, sosial, pendidikan dan kesejahteraan masyarakat.

Dana desa yang sekian persen dialokasikan, Jika tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kepentingan masyarakat umum. Maka dana desa yang sebagian besar untuk infrastruktur segera dimaksmilkan pada penangan, pencegahan, bantuan selama Pandemi Corona. Bukankah menurut aturan perundang-undangan, jika sudah terkena dampak itu merupakan bagian dari hal-hal utama dan mendesak yang mesti jadi perioritas anggaran.

Wassalam, (15.02 PM). Senin, 27 April 2020.

Senin, 27 April 2020

Saat Bulan Puasa. Tidur Pagi, Apakah Hanya Pembiasaan.


Oleh :Muh Ikhwan

Opinews. Perputaran bumi mengakibatkan terjadinya rotasi pergantian waktu antara siang dan malam. Pergantian siang dan malam merupakan hal yang terjadi secara alamiah. Dalam pandangan Islam, Al-qur'an menyebutkan salah satu tanda-tanda penciptaan dan kebesaran Tuhan karena terjadi pergantian siang dan malam wallaili wannahar.

Semua makhluk merasakan pergantian siang dan malam tersebut, ada yang menjadikan malam sebagai momentum untuk beristirahat dan ada pula yang menjadikan malam sebagai mata pencaharian. Begitu juga dengan siang, kecenderungan manusia beraktivitas pada siang hari. Ada yang menjadikan siang sebagai waktu dalam mencari kebutuhan hidup dan ada pula yang menjadikan siang sebagai waktu untuk beristirahat.

Berarti dalam menikmati pergantian waktu ini tergantung seseorang bagaimana ia dalam memandang dan memenuhi kebutuhannya selama siang dan malam.

Pergantian siang dan malam banyak dimanfaatkan oleh manusia. Salah satunya memanfaatkan pergantian waktu tersebut dengan beristirahat dan melakukan rutinitas kehidupan.

Manusia pada umumnya memiliki batas-batas energi. Kehabisan energi terkadang memicu setiap orang untuk beristirahat. Biasanya kehabisan energi diakibatkan oleh berbagai aktivitas atau kesibukan yang dilakukan, apakah aktivitas dilakukan pada siang atau malam hari. Yang jelas kehabisan energi pada diri manusia yang mengakibatkan mereka butuh untuk beristirahat. 

Istrahat biasa dilakukan dengan berbagai bermacam cara, bisa dilakukan dalam keadaan tidur seharian atau berhenti melakukan rutinitas pekerjaan.

Istrahat dengan cara tidur merupakan tradisi istrhat yang paling sering dilakukan oleh seseorang. Ada yang katakan tidur adalah saudara kematian, Ada yang mengatakan tidur untuk bangun dan sebagainya. Namun tujuan tidur pada dasarnya untuk kembali mentralisir energi yang ada pada tubuh.

Berbagai literatur yang ada mengatakan bahwa tidur merupakan kebutuhan hidup seperti halnya makanan. Namun, selain dijadikan sebagai kebutuhan ada pula yang memandang bahwa tidur merupakan kebiasaan.

Beberapa orang yang saya tanya apakah tidur adalah kebutuhan atau kebiasan?

Semua mengatakan bahwa tidur merupakan kebutuhan. Namun, jika saya memberikan pandangan bahwa tidur adalah kebiasaan dengan alasan pertama, seorang balita akan tertidur jika waktu tidurnya telah tiba. Biasanya balita jika tidur siang akan tertidur kembali jika datang waktu siang, tidur kira-kira jam 10 maka tiba waktu jam 10 maka akan kembali tertidur.

Kedua, seseorang yang suka tidur pagi dan melewatkan waktu subuh sangat susah untuk bangun. Biasanya terjadi pada bulan puasa, setelah sahur banyak orang yang kembali tidur. Hal ini rutin dilakukan oleh seseorang yang sering tidur subuh, tiba waktu subuh maka dengan cepat ia akan merasa ngantuk.

Ketiga, menguap merupakan tanda-tanda seseorang ketika ingin tidur. Biasanya menguap akan berhenti setelah tidur sekalipun sedikit. Tapi tertidur saat menguap bisa jadi karena imun tubuh lemah atau kehabisan energi.

Keempat, mayoritas waktu tidur seseorang dilakukan pada malam hari. Pola tidur pada malam hari dilakukan karena siang dijadikan sebagai waktu untuk beraktivitas dan malam sebagai waktu untuk beristirahat. Maka tiba waktu malam pada jam tidur maka instrumen ngantuk akan bereaksi cepat untuk segera tertidur.

Saya sering menyaksikan selama bulan ramdhan kebiasaan tidur pagi pada sebagian kalangan. Mengapa mereka tertidur?

Apakah mereka betul mereka tidur karena kebutuhan atau kebiasaan? Silahkan saudara amati kebiasan-kebiasan tersebut disekitar anda.

Selamat menjalankan ibadah puasa 1441 H. Semoga barokah.

Wassalam, (07: 19 AM).

Jumat, 24 April 2020

Tarawih Ramdhan, Antara Kepatuhan dan Ketidak Patuhan Terhadap Himbauan


Oleh, Muh. Ikhwan

Opini. Nuansa Ramdhan tahun ini 1441 H nampak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu mungkin kita masih merasakan berbagai macam resepsi Ramdhan bersama kaum muslimin dan muslimat. Masih merasakan, buka puasa bersama, shalat tarawih bersama, Nuzulul Qur'an, dan berbagai macam model kegiatan keagamaan dilakukan secara bersama.

Sebagai muslim yang beriman, kehadiran bulan ramdhan merupakan salah satu tamu istimewa.  Karena keistimewaan bulan ini, orang beriman akan selalu berupaya meningkatkan kualitas Ibadah dihadapan sang Ilahi Rabbi. Apakah dengan cara meningkatkan Ibadah amaliah wajib atau amalia sunnah, entakah dilaksanakan di Masjid secara berjamaah atau dirumah masing-masing. Yang jelas semangat beribadah itu hadir dalam hati dan jiwa sanubari muslim yang beriman.

Namun tahun ini, nuansa Ramdhan sudah jauh berbeda. Berbagai macam kegiatan atau semarak keagamaan tidak dilaksanakan lagi dibeberapa tempat teretentu. Buka puasa bersama, tarawih yang begitu lazim dilakukan seperti pada tahun sebelumnya. Hal tersebut terjadi setelah pemerintah kita (Indonesia) telah mengeluarkan himbaun tentang peniadaan shalat berjamaah di Masjid, yang ada adalah dirumah masing-masing.

Himbaun tersebut dikeluarkan akibat dari penyakit menular Pandemik Covid-19 yang telah melandah dunia secara global. Memakan korban ribuan bahkan sudah hampir juta jiwa manusia di Bumi terkapar pandemik Corona. Termasuk Indonesia, mulai sejak bulan Maret lalu pemerintah mengumumkan terdapat dua kasus yang terinfeksi virus di Jawa. Kemudian ditemukan pula kasus diberbagai wilayah tertentu, provinisi, daerah, kecamatan, dan sampai kepada pelosok desa.

Pemerintah menganggap covid-19 sebagai bencana Nasional, sehingga berbagai macam upaya dilakukan dalam rangka mencegah penularan wabah corona. Termasuk upaya memutus mata rantai penularan, agar manusia disekitar tidak terus menerus saling menulari. Pemerintah melakukan pembatasan sosial, melarang adanya kerumunan. Kerumunan dalam bentuk kegiatan apapun, termasuk didalamnya kerumunan pada saat melakukan Ibadah.

Melalui surat edaran Kementrian Agama RI. No: SE.6 TAHUN 2020, tentang Panduan ibadah Ramdhan dan Idul Fitri l Syawal 1441 H di tengah pandemi wabah Covid-19.

Pada umumnya, surat edaran tersebut adalah upaya mengantisipasi dan pencegahan pandemik infeksi virus Corona di masyarakat. Hal ini bertujuan memberikan panduan beribadah yang sejalan dengan syariat Islam.

Dalam panduan pelaksanaan Ibadah tersebut, melalui Kemenag RI. Pelaksanaan kegiataan secara berjamaah ditiadakan seperti, buka puasa bersama, Sahur, Tarawih, Tilawah, peringatan Nuzulul Qur'an, Pesantren kilat, Takbiran keliling, Shalat Id, Silaturahmi kontak langsung. Agar pelaksaannya dilakukan secara individu sesuai yang sejalan dengan tuntunan ajaran Islam.

Bagi masyarakat yang menyikapi surat edaran yang berupa himbaun tersebut, ditempat tertentu menuai banyak kontradiksi. Antara kepatuhan dan ketidak patuhan terhadap himbaun. Masih banyak yang ngotot masih melaksankan resepsi ramdhan, shalat tarawih. Katanya, masih aman dan belum masuk pada kategori zona merah dan sebagainya.

Memang, jika dilihat berdasarkan situasi dan kondisi masyarakat bisa saja tidak peduli dengan himbaun. Apatah lagi jika tempat tersebut belum ada yang terdeteksi infeksi Corona. Mereka yang terbiasa hadir berjamaah di Masjid akan membangkan, saat-saat kepatuhan terhadap pemerintah belum dapat diberlakukan. Menurut sebagian kalangan, himbauan tersebut perlu kemudian dikontekstualkan, tidak boleh hanya secara tekstual. Artinya disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Sehingga, Semarak ramadhan tetap ada termasuk shalat tarawih berjamaah di Masjid jika betul-betul yakin masih dalam kondisi aman.

Mereka mengaggap bukan persoalan ketidak patuhan. Namun tentu setiap wilayah berbeda, apatah lagi jika daerah pelosok. Kami mampu melihat berdasarkan kondisi yang ada. Jadi Shalat wajib fardhu dan Jum'at itu tetap dilaksanakan, bahkan shalat tarawih berjamaah sekalipun akan tetap dilaksanakan di Masjid.

Upaya-upaya menghindari kerumunan harus ditempatkan pada tempatnya. Bagi wilayah yang belum terdeteksi, harus mengambil sikap Wasatiyyah (tengahan) terutama persoalan Ibadah. Bukan persoalan lebih pintar dari para Cendiki muslim (Ulama), atau ketidak patuhan pada ulilamrimingkum. Namun persoalan kepatahuan transenden lah yang paling utama yang harus diutamakan pada situasi dan kondisi saat ini. Himbaun berupa surat edaran tidak selamanya disikapi secara tekstual, namun perlu disikapi secara kontekstual.

Semoga, Bulan Ramdhan masih tetap bersemarak dihati sanu bari  dan berkah Ramdahan ini menghapus pandemik covid-19 dipersada Bumi. Aamiin.

Nun, Walqalam. Wassalam, Gowa.(01 Ramdhan 1441 H/ 24 April 2020).

Optimis Bangun Ekosistem Pertanian

Kemarin (19/07/24) saya bersama petani Milenial Tombolo Pao, Gowa, dalam kegiatan star up program YESS 2024 di BPP Kanreapia. Berbagai infor...